Life Is A Book - Berbagi inspirasi dan kreasi lewat kata. Mengisi lembaran kehidupan dengan cerita dan kisah. Sebuah kumpulan memoar kehidupan dalam jejak waktu dan ruang. Selamat menjelajah dan menikmati petualangan literasi dalam setiap alurnya - Life Is A Book

Saturday, December 31, 2011

Kaum Difabel : Kekuatan di Balik Kelemahan Fisik

Lomba Penulisan Blog Komunitas Blogger Bengawan
Tema : “Difabilitas di Indonesia”

Kaum Difabel : Kekuatan di Balik Kelemahan Fisik

Seandainya mereka bisa memilih, mereka tentu tak ingin dilahirkan dalam kondisi seperti ini. Diejek, dihina, atau bahkan dikucilkan karena kelemahan fisik yang mereka miliki. Mereka mungkin bertanya pada Tuhan, mengapa Tuhan seolah tak adil melahirkan mereka dalam kondisi yang penuh keterbatasan. Ada perasaan iri dan cemburu yang membuncah tatkala melihat orang lain yang mampu berlari, melihat, mendengar, dan bermain layaknya orang biasa. Mengapa mereka tak bisa melakukan itu semua?

Mungkin itulah ungkapan hati kaum difabel tatkala mereka menyadari bahwa mereka dilahirkan ke dunia dalam kondisi yang tidak sempurna. Mereka sangat berhak mengutuki hidup dan mengatakan hidup berlaku tidak adil pada mereka. Diskriminasi dan perlakuan tidak ramah kerapkali mereka dapatkan, mulai dari pemisahan kaum difabel ke Sekolah Luar Biasa (SLB) hingga fasilitas umum yang tidak ramah bagi kaum difabel. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, mereka seolah dihakimi oleh takdir dan kenyataan hidup yang tidak bersahabat dengan hidup mereka.

Namun di balik kelemahan yang mereka miliki, tak sedikit di antara kaum difabel yang justru menunjukkan bahwa kekuatan mereka justru terletak dalam kelemahan fisik yang mereka miliki. Mereka tak lantas memutuskan untuk menyendiri atau bahkan ekstrimnya mengakhiri hidup karena takdir yang menyakitkan untuk hidup mereka, melainkan mereka bangkit dan menunjukkan bahwa mereka juga mampu dan bisa menjalani hidup layaknya orang normal. Mereka berhak menikmati hidup dan mereka justru bisa menjadi panutan bagi banyak orang, termasuk orang normal.

Sebut saja, Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur. Beliau mungkin dilahirkan tanpa kedua bola mata yang mampu melihat, tetapi beliau mampu melihat masa depan bangsa ini dengan baik. Dengan penuh kharisma dan gaya bercandanya yang khas, Gus Dur menjadi presiden pertama yang memperbolehkan perayaan Imlek di tanah air dan menjadi hari besar di Indonesia. Sebelumnya, kaum minoritas dilarang merayakan dan memperingati hari raya leluhur mereka. Tampak dengan jelas bahwa Gus Dur sudah menjadi bapak pluralitas yang mengembalikan esensi dari Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi satu juga.

Sebagai seorang pemimpin bangsa, di balik kelemahan fisiknya, Gus Dur justru menjadi tokoh yang paling disegani gerakan separatisme di Indonesia. Indonesia berada dalam kondisi aman, damai, dan tentram tanpa adanya konflik berarti di bawah kepemimpinan Gus Dur. Tak hanya itu, iklim demokrasi pun sangat kondusif dan berjalan dengan baik di bawah kepemimpinannya. Terlihat dengan jelas bahwa Gus Dur sebagai kaum difabel membuktikan bahwa kelemahan fisik bukanlah halangan bagi kita untuk melangkah maju. Dari kelemahannya, Gus Dur justru menjadi teladan dan tokoh penting bagi dunia yang mengajarkan begitu banyak nilai-nilai kehidupan penting yang harus kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Di dunia internasional, kita mengenal Nick Vujicic sebagai contoh kaum difabel yang tidak menyerah pada kenyataan hidup. Dilahirkan tanpa kedua tangan dan kaki, Nick tidak lantas meratapi dan mengakhiri hidupnya. Ia justru menyadari bahwa ada maksud Sang Pencipta menciptakan Nick dalam kondisi seperti ini. Berbekal persepsi itu, ia pun belajar untuk mandiri dan tidak merepotkan orang-orang di sekitarnya, mulai dari memakai baju, makan, dan lain sebagainya. Nick juga pun bisa berenang, meskipun tanpa kedua tangan dan kakinya.

Berkat semangat dan kekuatan hatinya yang besar, Nick menjadi tokoh inspiratif bagi banyak orang di seluruh dunia. Ia sudah menjadi pembicara di berbagai acara TV dan berkeliling dunia untuk membagikan pesan bahwa kaum difabel bukanlah kaum terbelakang. Justru di balik kelemahan mereka, tersimpan kekuatan super yang mampu menggerakkan dunia menjadi lebih baik.

Kembali ke tanah air, kita pun akan menemukan figur-figur kaum difabel yang justru memberikan manfaat bagi lingkungan di sekitar mereka dalam kelemahan fisik yang mereka miliki. Ibu Winda, misalnya. Dalam keterbatasan fisiknya, yakni hanya memiliki kaki kanan, ia justru menjadi guru mengaji bagi 100 anak-anak di desanya. Ia senantiasa mengajarkan cara untuk bersyukur kepada Sang Pencipta atas rahmat dan rezeki yang diterima sepanjang hari sekalipun dalam kondisi keterbatasannya.

Tak ketinggalan Sutopo, peraih medali Porda dalam kejuaraan beberapa tahun yang lalu. Dalam keterbatasan dan kekurangan fisik pada kedua kakinya, ia justru menunjukkan bahwa cacat tidak menghalanginya untuk terus berprestasi. Ia justru giat berlatih dan berlari, sekalipun itu tidak mudah baginya. Semangat itulah yang membuatnya terus berusaha mempersembahkan prestasi-prestasi terbaiknya bagi daerah tercinta.

Semangat kaum difabel pun dapat kita rasakan pada ajang ASEAN Paragames 2011 di Solo, 12-22 Desember yang lalu. Di balik keterbatasan dan kekurangan yang mereka miliki, mereka justru mampu mempersembahkan medali emas, perak, dan perunggu bagi Indonesia. Sungguh sebuah pencapaian yang luar biasa dan patut diacungi jempol. Dalam kekurangan, mereka mau terus berprestasi dan berkarya bagi Indonesia. Mereka mengajarkan sebuah nilai berharga bagi kita, yakni di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Semangat itulah yang selalu mereka pegang hingga mereka mampu berkembang dan berkarya hingga saat ini.

Sekilas kita melihat kaum difabel perlu dikasihani dan sangat bergantung pada orang lain. Namun kenyataannya, terkadang kitalah yang perlu mereka kasihani dan tolong untuk tetap semangat menjalani hidup. Fakta dalam kehidupan justru menunjukkan banyak orang normal yang merasa dirinya berkekurangan, sekalipun mereka diciptakan sempurna sebagai manusia. Mereka justru mengeluh mengapa mata, hidung, bibir, tangan, kaki, dan bagian tubuh mereka tidak sesuai yang diharapkan. Pada akhirnya, mereka tidak bersyukur dan selalu mengeluh akan ketidaksesuaian fisik yang mereka miliki.

Akhirnya banyak orang normal yang jelas-jelas sempurna sebagai manusia justru menutupi diri mereka dengan setumpuk kosmetik, obat-obatan, dan berbagai terapi yang dilakukan semata-mata untuk menyempurnakan diri lebih baik. Padahal tanpa kita sadari, semua hal yang kita lakukan sudah menunjukkan bahwa kita sangat tidak bersyukur atas apa yang sudah kita terima dalam hidup dari Sang Pencipta. Terkadang kaum difabel jauh lebih bersyukur dan memiliki kebesaran hati dan jiwa yang sejati untuk menerima kenyataan hidup. Hal itulah yang terkadang perlu kita pelajari dan renungkan dari kaum difabel.

Berbicara mengenai semangat hidup, maka kita patut berkaca pada kaum difabel. Di layar kaca dan berbagai situs berita, tak jarang kita melihat artis-artis Korea dan luar negeri yang justru memilih mengakhiri hidup mereka karena tekanan popularitas yang mereka alami. Tak hanya itu, banyak orang kaya dan normal yang justru memilih mengakhiri hidup karena merasa hidup itu hampa dan begitu banyak beban berat yang mereka derita. Padahal jika dibandingkan dengan kaum difabel, hidup mereka jauh lebih beruntung dan lebih menyenangkan. Tetapi sayang, terkadang semangat hidup kita sebagai manusia normal kadang masih jauh di bawah kaum difabel. Kaum difabel mampu mengajarkan kita semangat dan kerja keras untuk mencapai hal yang mereka impikan dalam hidup.

Sebagai manusia normal, kita patut malu pada kaum difabel. Saat kita berusaha memperbaiki kekurangan-kekurangan yang semu dalam hidup, mereka justru berpikir lebih jauh ke depan, yakni bagaimana mereka bisa memberi manfaat bagi lingkungan di sekitar mereka. Mereka tidak memikirkan bagaimana si “aku”, melainkan memikirkan bagaimana dampak yang bisa diberikan si “aku”. Lewat kaum difabel, harusnya kita belajar untuk tidak mau kalah memberi manfaat bagi lingkungan di sekitar kita. Jika mereka yang berkekurangan saja bisa memberi dampak berarti bagi banyak orang, tentu seharusnya kita jauh lebih mampu memberi banyak manfaat bagi orang-orang di sekitar kita. Kita belajar merefleksikan diri kita menjadi pribadi yang lebih baik dan dewasa dengan kehadiran kaum difabel di sekitar kita.

Melihat berbagai potensi dan semangat yang dimiliki kaum difabel, tentu pemerintah sebagai perpanjangan tangan rakyat harus bisa melihat kebutuhan mereka sebagai sebuah amanat yang harus dipenuhi. Kita melihat begitu banyak fasilitas umum yang seolah diset hanya untuk orang normal saja, sementara bagi mereka yang berkekurangan, mereka seolah harus bersusah payah menggunakan fasilitas umum tersebut. Perilaku diskriminatif ini tentu sangat tidak tepat karena kaum difabel juga bagian dari masyarakat Indonesia yang patut kita perhatikan.

Pemerintah tentu harus membangun fasilitas khusus kaum difabel yang ramah digunakan. Hal itu bisa dilakukan dengan pembenahan tanjakan bus way, stasiun, terminal, rumah sakit, dan berbagai fasilitas umum lainnya agar dapat dengan mudah dilalui kaum difabel. Pengadaan lift yang memiliki tulisan morse dan berbagai fasilitas penunjang kaum difabel harus disiapkan agar kaum difabel pun bisa merasakan keadilan dan nilai manfaat dari fasilitas umum yang sudah disiapkan pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah bisa berkaca pada kota Solo sebagai Kota Pusat Rehabilitasi warisan Prof. DR. Soeharso. Kota Solo sudah menerapkan berbagai cara pemberdayaan difabel di Indonesia yang bisa menjadi contoh bagi kota-kota besar di Indonesia untuk diimplementasikan.

Selain fasilitas umum, kaum difabel juga seyogianya mendapat perlakuan yang sama dengan manusia normal. Jika selama ini kaum difabel seolah harus dipisahkan dengan manusia normal untuk menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB), pemerintah bisa membuat regulasi pendidikan baru yang memungkinkan kaum difabel untuk bisa bersekolah di sekolah yang sama dengan manusia yang normal. Hal ini akan menjadikan derajat kaum difabel dan manusia normal setara. Mereka pun tak merasa dianaktirikan dan disingkirkan dari kehidupan masyarakat.

Pada akhirnya, kaum difabel juga manusia yang sama seperti kita. Mereka layak mendapatkan perlakuan dan perhatian yang sama seperti manusia normal. Sebagai manusia yang dilahirkan dengan kekurangan fisik, mereka terkadang justru bisa menjadi panutan dan memberikan contoh bagi kita selaku manusia normal. Kekuatan hidup mereka justru terletak dalam kelemahan fisik yang mereka miliki. Jika kaum difabel saja sadar untuk bisa memberikan manfaat berarti bagi lingkungan di sekitarnya, apakah kita sebagai manusia normal tidak merasa tertantang untuk melakukan hal yang sama dengan kaum difabel. Maka dari itu, mari kita berjalan bersama kaum difabel membangun Indonesia lebih baik dengan semangat dan kerja keras bersama! Hidup kaum difabel!

No comments:

Post a Comment