Lomba Blog Difabilitas
Sepasang
Kaki Bernama Mimpi
Sumber: brilio.net |
Apa yang akan kau lakukan ketika melihat anak-anak
seusiamu berlari dengan riang gembira di lapangan sambil tersenyum dan tertawa?
Saat kau ingin bergabung bersama mereka, kau terjatuh dari kursi roda yang
membopong tubuhmu selama ini. Kau tentu ingin menangis dan mempertanyakan
keadilan Tuhan dalam memberikan kondisi fisik yang tak sempurna bagi
ciptaan-Nya. Di saat keputusasaan melanda dan harapan yang mulai memudar,
justru nyala mimpi semakin terang menciptakan bara api menyala untuk membuatmu
terus berjalan kendati kakimu tak berdaya.
Itulah Risnawati Utami, penyandang Cerebral Palsy
yang harus menjalankan hidupnya dari atas kursi roda sejak usia 4 tahun. Di
saat anak-anak lain seusianya mampu bermain petak umpet, lompat tali, atau
berlari pagi di lapangan, ia mungkin hanya duduk diam melihat keceriaan itu
dari kursi rodanya. Tapi Risna tak mau larut dalam kesedihan terlalu dalam.
Ketika Sekolah Luar Biasa menjadi pilihan utama bagi penyandang disabilitas,
Risna justru memilih bersekolah di sekolah umum layaknya orang normal pada
umumnya. Baginya, bersekolah di sekolah umum bukanlah monopoli orang yang
sempurna secara fisik saja, tetapi juga ia yang memiliki kekurangan.
Beranjak kuliah, ia membuktikan bahwa kaum difabilitas
bukanlah kaum terbuang yang tidak mampu berbuat apa-apa. Ia meraih gelar
sarjana hukum dari Universitas Negeri Sebelas Maret Solo pada 1997. Selepas
kuliah, kenyataan hidup kembali membuatnya terjatuh. Ia sadar bahwa mencari
pekerjaan bagi kaum difabel adalah hal yang sulit. Stereotip bahwa kaum difabel
tidak berkontribusi aktif bagi perusahaan membuat banyak perusahaan enggan
mempekerjakan kaum difabel.
Sumber: iie.org |
Ketika keputusasaan mulai melanda, Risna bergabung
dalam Yayasan Talenta yang memperjuangkan hak-hak kaum difabel di Solo. Saat ia
aktif bergelut bagi hak-hak kaum difabel, saat itu pula “kedua kakinya” mampu
bergerak. Risna lolos mendapatkan beasiswa S2 dari Brandies University di
Waltham, Amerika Serikat. Kini ia bisa berjalan dengan “kedua kakinya”
untuk meraih kesuksesan.
Risnawati mungkin hanyalah satu dari sekian banyak
kaum difabel yang percaya bahwa kekurangan fisik bukanlah halangan untuk
berkarya. Justru ia sadar bahwa kekurangan fisik inilah yang menjadikannya kuat
dan mampu bertahan melewati berbagai fase kehidupan yang dialaminya selagi
kecil hingga kuliah. Risna tak memilih menangis di kamar karena menyesali hidup
yang telah memberinya kondisi kaki yang tak sempurna, melainkan ia berani
keluar untuk menunjukkan bahwa seorang Risna pun mampu bersaing dengan orang
normal lainnya.
Kisah Risna ini bisa menjadi renungan bagi kita
semua bahwa mimpi tak pernah membatasi siapapun untuk meraih kesuksesan. Sebagai
manusia yang dikaruniai kondisi tubuh yang lengkap, sudah sewajarnya kita mampu
berkarya dengan lebih baik dan berdampak bagi orang-orang di sekitar kita.
Semangat kaum difabel yang tak pernah menyerah inilah yang perlu kita adaptasi
bersama dalam kehidupan sehari-hari agar kekuatan dan daya juang hidup kita
terus menyala dengan berbagai kondisi kehidupan yang kita alami.
Melihat kisah Risna, tentu pemerintah pun harus
mengambil peran dalam menciptakan kesetaraan bagi kaum difabel yang ingin
meraih mimpinya. Selama ini sistem pendidikan kita bagi kaum difabel cenderung
kurang berpihak. Buku pelajaran, materi, hingga ujian di sekolah umum rata-rata
tidak menyediakan kertas dengan huruf Braille bagi penyandang tunanetra atau minimnya
lingkungan sekolah yang ramah difabel dengan banyaknya tangga yang curam.
Padahal kaum difabel juga ingin bersekolah seperti anak biasa yang mampu
mengerjakan PR, ujian, hingga mengikuti kegiatan tambahan di sekolah.
Sumber: foto.viva.co.id |
Demikian juga fasilitas untuk kaum difabel di tempat
umum dilupakan atau dikesampingkan karena dianggap mubazir dan jarang digunakan.
Alhasil kaum difabel sangat kerepotan dan dianggap merepotkan orang lain ketika
menaiki transportasi umum. Demikian juga jalur kuning yang menonjol di trotoar
yang kerapkali rusak yang seharusnya mampu menjadi panduan kaum tunanetra untuk
berjalan secara mandiri dibiarkan begitu saja. Pemerintah juga belum
memperlakukan kaum difabel secara setara layaknya orang normal pada umumnya.
Demikian juga dengan pengalaman Risna yang ditolak
kerja akibat kondisi fisiknya yang mempunyai kekurangan. Kaum difabel kerapkali
dipandang sebelah mata oleh perusahaan. Pemerintah pun masih minim dalam
menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka yang mempunyai kekurangan. Maka dari
itu, pemerintah harus membangun atau melatih kaum difabel agar mampu berkarya
secara mandiri dengan kemampuan yang mereka miliki, mulai dari pijat tunanetra,
berprestasi di olimpiade, hingga bersekolah hingga ke luar negeri. Bisa juga
dengan mempekerjakan kaum difabel sebagai PNS atau lembaga pemerintahan
tertentu sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.
Kaum difabel memang bukanlah mayoritas dari penduduk
Indonesia, namun keberadaan mereka pun mampu berdampak bagi kehidupan di
Indonesia. Kisah Risnawati Utami membuktikan bahwa sepasang kaki yang
dimilikinya kini bukanlah kaki yang terkena polio, melainkan mimpi yang
mengantarnya menuju beasiswa S2 di Amerika Serikat untuk meraih kesuksesan.
~
oOo ~