Tema: "Sustainable Palm Oil, Gaya Hidup Konsumen Bijak"
Membeli
Tanpa Menghancurkan, Bisakah?
Sumber: www.thenation.com |
Sebagai
mahasiswa, gaya hidup hemat menjadi prinsip hidupku sehari-hari. Segala sesuatu
yang murah meriah pasti selalu menjadi perhatianku. Ketika berbelanja ke
supermarket, aku akan menyeleksi produk berdasarkan harga. Kalau ada diskon ya
dibeli, kalau tidak ya gigit jari saja karena keuangan yang terbatas. Demikian
juga saat makan di sekitar kampus, pastilah cari yang murah meriah. Kalau
dosenku bilang sih 4M, yaitu murah, meriah, muntah, dan mencret. Pokoknya harga
jadi indikator utama beli atau tidaknya suatu produk.
Sebelum
berangkat kuliah, aku mandi supaya badan terasa segar saat berada di kampus.
Nah aku pasti menggunakan sampo dan sabun dari merek yang ekonomis dan berbusa
banyak. Kan lumayan kalau sudah hampir habis bisa direfill dengan air, supaya ada busanya lagi. Saat sarapan, aku
memakan roti tawar yang sudah dipack dan diberi selai. Lumayan untuk ganjal
perut sih. Bisa juga makan mie instan yang tinggal diseduh karena praktis dan
ga ribet. Apalagi kalau kuliah pagi dosennya killer, mending cari aman makan yang siap saji saja, bukan?
Sesudah
kuliah, biasanya jalan-jalan jadi aktivitas yang asyik untuk refreshing pikiran. Nongkrong di tempat
makan sambil main laptop karena Wi-Fi gratis pasti jadi aktivitas rutin buat
ngerjain tugas kelompok. Biar ga diusir karena kelamaan, biasanya aku pesan
makanan yang bisa buat ramai-ramai, kayak pizza dan es krim. Ujung-ujungnya sih
malah jadi ngobrol daripada ngerjain tugas, tapi yang penting hepi kan. Begitu
pulang, biasanya aku makan lagi kue, mie instan, dan aneka macam makanan di
meja karena kelaparan. Begitulah seterusnya setiap hari sebagai mahasiswa.
Ketika
di kampus, aku aktif menyuarakan pendapat untuk gerakan #MelawanAsap. Apalagi
kebakaran hutan dan lahan terus terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan yang
mematikan perekonomian masyarakat setempat. Aku turut menghimpun dana untuk
menolong korban bencana asap dengan pembagian masker dan pendirian posko
kesehatan. Tapi aku tak sadar bahwa aku adalah salah satu aktor dari pembakaran
hutan itu sendiri. Kok bisa? Saat aku membeli produk tanpa melihat bahan baku
yang mereka gunakan, saat itu pula sebenarnya idealismeku dipertanyakan. Apakah
memang kebakaran hutan ini salah oknum tertentu saja atau justru aku pun
terlibat dalam upaya pembakaran lahan dan hutan ini?
Berbicara
tentang kebakaran hutan dan lahan, aku melihat bahwa minyak kelapa sawit adalah
bahan baku dari hampir semua produk kebutuhan sehari-hari yang kita pakai.
Sampo dan sabun yang kita pakai saat mandi, roti tawar dan mie instan saat
sarapan, pizza dan es krim saat hangout,
dan aneka macam kue semua menggunakan minyak kelapa sawit sebagai salah satu
komponennya. Tentu aku sadar bahwa minyak kelapa sawit sangatlah dibutuhkan
untuk memproduksi semua barang yang aku konsumsi sehari-hari.
Lantas
apa hubungannya aku dan kebakaran hutan? Kok seperti langit dan Bumi ya? Jika
mengacu pada teori permintaan dan penawaran, aku melihat kalau permintaan
tinggi, maka produksi produk akan gencar dilakukan untuk memenuhi permintaan
tersebut. Tak heran rasanya kalau hutan dan lahan dibabat demi menyediakan bahan
baku yang dibutuhkan untuk pembuatan produk. Dalam hal ini, minyak kelapa
sawitlah yang sangat dibutuhkan oleh semua industri untuk memproduksi produk
kebutuhan sehari-hari. Alhasil, aksi deforestasi besar-besaran pun terjadi demi
memenuhi permintaan konsumen yang dilakukan dengan pembakaran hutan dan lahan.
Ironis
rasanya, tatkala aku mengkampanyekan aksi Go Green, #MelawanAsap, dan beragam
kegiatan ramah lingkungan, tapi aku pun terlibat dalam rantai kehancuran hutan
dan lahan di Indonesia. Aku berkontribusi dalam membeli produk yang menggunakan
minyak kelapa sawit yang tidak ramah lingkungan dengan dalih harga yang murah.
Terkadang aku lupa bahwa di saat aku memperjuangkan kebenaran, di satu sisi
mungkin aku terlibat sebagai aktor dari ketidakbenaran itu sendiri. Saat itulah
aku harus berkaca pada kantong keresek yang membawa barang belanjaanku dari
supermarket.
Sebagai
konsumen dan mahasiswa yang cerdas, seharusnya aku sadar bahwa terlibat dalam
kampanye ramah lingkungan itu bukan sekadar demo besar-besaran, aktif
memberikan twit, atau keliling kampus
untuk mengumpulkan dana. Selektif dalam membeli produk bisa jadi salah satu
cara ampuh yang bisa mencegah rantai kehancuran hutan dan lahan terjadi secara
terus menerus. Dengan begitu, aksi deforestasi bisa diminimalisir dan
dikendalikan karena konsumen cerdas menuntut bahan baku produk yang ramah
lingkungan.
Dalam
hal ini, aku harus menyeleksi produk yang aku beli sehari-hari dengan standar
yang ditetapkan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), yakni standar
Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) yang teruji dengan baik. Standar yang
ditetapkan ini bukanlah asal diberi label saja, melainkan diperhatikan secara
seksama dari tahap produksi yang dilakukan. Dari segi standar, RSPO mengaudit
rantai pasokan produk apakah sesuai kriteria dan prinsip yang ditetapkan atau
tidak. Dari segi akreditasi, RSPO akan menilai perusahaan X kredibel atau
tidak. Dari segi persyaratan produksi, apakah produk yang dibuat memperhatikan
aspek keramahan lingkungan atau tidak.
Sumber: www.sustainablepalmoil.org |
Nah
produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan ini bisa dicapai kalau aku
membeli produk yang sudah teruji oleh RSPO sebagai produk yang menggunakan
CSPO. Membeli produk yang mempunyai CSPO ini bukan berarti menguntungkan aku
saja sebagai konsumen agar mendapatkan produk yang sehat dari bahan baku yang
teruji, tetapi juga mereka yang ada di belakang layar produksi. Upah tenaga
kerja yang layak, tata cara pengambilan minyak kelapa sawit yang tepat, serta
proses produksi yang berkualitas menjadi sebuah misi mulia yang tercapai kalau
aku membeli produk yang menggunakan CSPO.
Rasanya
tidak sulit bagiku untuk mengeluarkan 500 – 1.000 rupiah lebih mahal untuk aksi
menyelamatkan Bumi akibat pembakaran hutan dan lahan besar-besaran. Ketimbang
melihat Indonesia dikepung asap dan berkoar-koar di depan gedung pemerintah,
bukankah sebaiknya aku mawas diri dengan apa yang aku konsumsi sehari-hari.
Kalau aku memutus mata rantai deforestasi dengan membeli produk yang
menggunakan CSPO, pastilah perusahaan akan sadar untuk tidak membakar lahan
secara membabi buta untuk memenuhi permintaan konsumen.
Sumber: www.rspo.org |
Kini
sebagai mahasiswa, aku sadar bahwa murah meriah itu penting untuk menyelamatkan
dompet, tapi lebih penting lagi saat aku menyadari bahwa setiap pilihan produk
di supermarket ternyata mengandung konsekuensi. Saat aku mau membeli produk
yang berkualitas CSPO, saat itu pula aku sudah menjadi agen penyelamat hutan
secara tidak langsung. Jadi membeli tanpa menghancurkan itu bukanlah sesuatu
yang mustahil, tapi tergantung dari pilihanku saat berada di supermarket. Masa
depan Indonesia berada di tanganku, tanganmu, dan tangan kita semua saat
membeli produk.
~
oOo ~