Tema: “Local Brand
Lebih Keren”
Memaksimalkan
Potensi Local Brand #SmescoNV
Sumber: www.pesona.co.id |
Berbicara
tentang local brand, mungkin hal yang pertama kali terlintas di benak kita
adalah kerajinan tangan atau produk yang dihasilkan dari pedesaan. Tidak salah
memang, namun citra tersebut sudah mendarah daging dalam benak kita. Berbeda
rasanya tatkala kita menyebut ZARA, Armani, Louis Vuitton, Rolex, Uniqlo, dan
lain sebagainya yang gerainya biasa kita temukan di mal mewah, pasti kita
mengatakan bahwa merek tersebut menjual produk yang prestisius, elit, dan
berkesan wah. Tak heran jika banyak orang yang rela menghabiskan uang jutaan
hingga ratusan juta rupiah demi mendapatkan produk yang dikatakan limited edition dari gerai merek
internasional ini.
Ironis
memang tatkala gerbang masuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 akan segera
dibuka, masyarakat Indonesia lebih menyukai merek asing dibandingkan merek
lokal. Tentu kita juga tidak bisa menyalahkan konsumen karena selera pasar
bukanlah hal yang sinkron tatkala dikaitkan dengan nasionalisme atau rasa cinta
terhadap produk tanah air. Tapi bisa jadi ada sebuah benang merah dibalik
stagnannya pertumbuhan local brand di tengah era persaingan ekonomi global yang
menuntut sebuah produk yang inovatif, kreatif, dan lain daripada yang lain.
Secara umum, produk local brand Indonesia
sangatlah kaya dan beragam, mulai dari fashion, aksesoris, makanan, hingga
kerajinan tangan. Sayangnya, promosi dan pengembangan produk lokal menjadi
sebuah hal yang kerapkali diabaikan oleh pengusaha local brand. Asalkan
mendapat omzet yang besar dari wisatawan asing atau lokal yang datang, mereka
akan berpikir bisnis ini aman-aman saja. Padahal produk yang dihasilkan pun
mempunyai siklus hidup yang perlu mendapat perhatian serius dari pengusaha
lokal. Bisa jadi produk yang mereka jual saat ini sudah di tahap jenuh dan
mendekati ambang kematian (mature product).
Sumber: www.yesshare.com |
Tak
hanya itu, kerapkali pengusaha local brand cenderung berpikir untuk menerapkan cost advantages strategy alias menjual
produk dengan harga yang murah. Padahal konsumen tidak serta merta membeli
produk karena harga yang murah. Akibatnya demi melakukan penghematan biaya
bahan baku, tenaga kerja, dan berbagai faktor operasional lainnya, pengusaha
memangkas kualitas produk demi mendapatkan keuntungan dari harga jual murah.
Wajar rasanya jika konsumen tidak membeli local brand tatkala kualitas yang
ditawarkan cepat rusak, cepat sobek, dan lain sebagainya karena kompromi
kualitas yang dilakukan. Jika berbicara tentang harga murah dan kualitas
lumayan, bisa jadi konsumen lebih memilih produk dari Tiongkok ketimbang
Indonesia karena kemampuan manufaktur yang tinggi dan biaya tenaga kerja yang
rendah.
Sayang
rasanya jika produk Indonesia yang dikenal karena kearifan lokal dan ciri khas
budaya yang unik ini justru menjadi tersisih di negeri sendiri karena dinilai
tidak berkualitas oleh pasar. Maka dari itu, penting rasanya bagi local brand
untuk mengutamakan kualitas ketimbang menjual dengan harga yang murah. Jangan
lagi berada pada paradigma “yang penting laku”, tapi mulailah berpikir “produk
yang berinovasi”. Tatkala paradigma itu sudah ada, maka pengembangan local
brand dapat menjadi sebuah keunggulan bersaing yang besar dalam menyambut MEA
2015.
Sumber: bisnis.news.viva.co.id |
Tak
hanya itu, local brand juga seyogianya dikemas dalam bentuk yang eksklusif dan
bernilai jual tinggi. Jangan sampai penjualan produk hanya dibungkus dengan
kertas koran atau kantong keresek hitam karena akan memunculkan kesan brand
yang murahan dan tidak bernilai. Coba untuk memikirkan kemasan yang mempunyai
nilai estetika tinggi. Anyaman bambu, kotak kayu berukir, atau berbagai media
lainnya dapat menjadi kemasan yang baik untuk memberi kesan wah pada produk
local brand yang dijual. Tak hanya itu, kemasan produk juga bisa dikoleksi dan
menjadi kenang-kenangan tersendiri bagi konsumen.
Local
brand juga seyogianya mengangkat sesuatu dari kearifan lokal, sehingga tidak
mudah dilupakan. Sayang rasanya jika kebanyakan produk lokal di Indonesia
selalu berorientasi ke barat dalam penamaan produk, padahal istilah lokal
kerapkali justru dicari oleh konsumen asing karena mempunyai nilai budaya yang
tinggi. Coba saja kita mempunyai produk bernama Kabayan, Cepot, Pitung, Malin
Kundang, atau sesuatu yang berbau lokal dan ada cerita menarik di belakang
penamaan brand tersebut, pasar internasional akan menyambut produk tersebut
dengan antusias karena ada nilai tambah yang coba ditawarkan oleh produk local
brand tersebut.
Kita
sadar bahwa cinta produk dalam negeri itu penting untuk menjaga keberlangsungan
iklim ekonomi lokal yang digerakkan oleh SMESCO. Tapi pengusaha lokal pun
jangan lantas diam dan puas dengan kampanye pemerintah semata agar masyarakat
lokal membeli produk local brand yang mereka ciptakan. Maka dari itu, evaluasi
dua arah antara pengusaha dan konsumen lokal haruslah dilakukan guna menciptakan
local brand yang lebih keren. Perlu adanya inovasi dan kreativitas yang masif
agar produk Indonesia bisa bersaing di pasar internasional. Tatkala produk
lokal mampu menangkap selera pasar tanpa mengurangi kualitas dan bahan baku
yang digunakan, pasti konsumen pun tanpa ragu akan membeli produk lokal yang
ditawarkan.
Selamat
berbenah dan menjadikan local brand juaranya!
~
oOo ~
No comments:
Post a Comment