Tema : "Mengejar Mimpi"
Membangun
Rumah Lewat Imaji
Waktu
kecil, guruku bertanya, “Kalau sudah besar mau jadi apa?” Sama seperti jawaban
anak-anak pada umumnya. “Mau jadi dokter, Bu.” kataku polos. Aku tak sadar
bahwa saat itu aku sedang membangun mimpi. Seiring berjalannya waktu, aku
terobsesi menjadi seorang dokter. Aku membaca banyak buku tentang kedokteran,
senang mengamati dokter ketika mengobati pasien, serta berperilaku seolah-olah
menjadi seorang dokter. Orang tuaku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat
tingkah anaknya yang innocent ini.
Beranjak
dewasa, aku lupa mimpiku untuk menjadi dokter. Realitas kehidupan yang
menuntutku untuk bangun pagi, pergi ke sekolah, belajar hingga jam 4 sore, les,
sampai akhirnya mengulang pelajaran di rumah. Semua kesibukan itu membuatku
seperti robot hidup yang tak tahu bagaimana cara mengekspresikan kelelahan,
kebosanan, dan kebebasan yang terkekang. Pendidikan yang padat membuatku
menjadi komputer terprogram tanpa mempunyai mimpi.
Kini
aku duduk di bangku kuliah. Sesaat lagi, jembatan karier akan siap menyambutku.
Entah dengan sukacita atau justru ketidakpastian, aku bersiap untuk
menjalaninya. Di titik ini pula, aku kembali memanggil ingatan lamaku tentang
mimpi. Mimpi menjadi dokter yang berbanding terbalik dengan jurusan Ilmu
Administrasi Bisnis yang ku ambil 3 tahun yang lalu. Lucu memang, kita menyemai
mimpi untuk kemudian melupakan dan beralih pada zona aman setelah menyadari
realitas.
Tapi
aku tak pernah menyesal bermimpi. Lewat mimpi, aku bisa membangun idealisme
tanpa terkekang oleh batas-batas yang diberikan keluarga, lingkungan, maupun
kondisi. Terkadang aku tertawa membayangkan si “aku” yang kecil sibuk bermain
stetoskop plastik sambil memeriksa denyut nadi boneka beruang coklat sambil
berkata-kata sendiri. Aku tak sadar bahwa mimpi memberiku sebuah energi untuk
berani keluar dari rutinitas, melakukan kegilaan, sampai akhirnya mewujudkan
kemustahilan.
Setelah
belasan tahun lupa cara untuk bermimpi, mungkin aku akan mengulang mimpiku
sewaktu kecil. Aku ingin membangun rumah idaman di kawasan yang strategis
dengan konsep minimalis tanpa membebani orang tuaku. Mimpi yang terdengar gila,
bukan? Seorang mahasiswa tingkat akhir yang masih bau kencur dalam dunia karier
bermimpi tentang properti yang harganya sudah mencapai miliaran rupiah itu.
Karyawan yang sudah bekerja 30 tahun saja harus membanting tulang hingga remuk
untuk mewujudkannya. Pikiran akan mimpi dan realitas terus bertabrakan hingga
membentuk lubang hitam. Tinggal aku yang memilih, tetap bertahan atau larut dan
hanyut dalam pusaran kenyataan.
Aku
pun berjalan dalam mimpi menuju sebuah lahan kosong yang tak berbentuk. Ku
lukis rumah kecil yang nyaman lewat kuas imaji. Aku menggambar sebuah rumah
dengan ruangan yang mempunyai konsep ramah lingkungan, di mana angin pagi bisa
masuk ke dalam rumah dengan bebas lewat ventilasi udara yang ada. Lantainya
terbuat dari kayu jati yang kokoh, serta dindingnya dihiasi oleh belasan
prestasi yang ku torehkan.
Di
halaman depan rumah, ku tanam berbagai macam bunga dengan komposisi yang
seimbang, sehingga membentuk formasi yang indah. Tak lupa ada sebuah garasi
kecil untuk menginapkan sebuah mobil yang digunakan untuk bekerja. Bagian
belakang rumah ku taruh sebuah meja dan kursi santai untuk meminum kopi sambil
membaca koran di pagi hari sebelum mulai beraktivitas.
Ku
goreskan sebuah kamar dengan tempat tidur yang nyaman. Ada ruang keluarga yang
minimalis, namun tetap nyaman dengan penataan yang matang. Ada juga rak-rak
buku yang tertata dengan rapi memuat buku-buku yang ku tulis. Tak lupa dapur
kecil yang akan mengeluarkan aroma lezat tatkala istri tercinta memasak makanan
untuk keluarga kami kelak. Sungguh sebuah rumah impian yang terukir dengan
sempurna dalam imaji.
Saat
aku tersadar, rupanya aku masih berdiri di lahan kosong yang sama sekali belum
berbentuk. Aku pun melangkah pergi dan berjanji bahwa rumah impian itu kelak
akan ada di sana. Di bawah sapuan kuas imaji, aku bisa merasakan sentuhan,
aroma, dan tampilan visual dari rumah impian itu. Ada sebuah energi yang
membuatku bergerak dan melangkah untuk mencapainya. Aku tak tahu sejauh apakah
rumah impian itu berada, tapi yang jelas aku ingin meraihnya seberat apapun
itu.
Ku
pikir mimpi itu adalah produk dari sebuah kegilaan. Membayangkan sebuah
idealisme dengan mengabaikan realita dan waktu. Tapi bukankah semua
keberhasilan itu awalnya dari mimpi. Tatkala si anak bodoh Einstein bisa
dikenal sebagai penemu yang mendunia. Mahasiswa drop out Bill Gates bisa mendirikan Microsoft, salah satu
perusahaan teknologi terbesar di dunia. Anak singkong Chairul Tanjung bisa
mendirikan Trans Corp. dan mempekerjakan lulusan S1 di perusahaan yang
dirintisnya. Mimpi yang bisa membalikkan kondisi kehidupan dari pecundang
menjadi pemenang.
Ku
pikir mimpiku pun sama. Membangun rumah khayalan di negeri dongeng tanpa
menyadari diri. Mungkin teman-temanku sudah mengatakan, “Woy bangun! Kita itu
masih kuliah. Jangankan beli rumah, traktir pacar pakai uang sendiri saja
susah.” Tapi bukankah mimpi itu gratis, saat pergi kencing ke toilet saja harus
membayar?
Ada
juga yang mengatakan, “Jangan bermimpi terlalu tinggi, nanti kalau tidak
tercapai jatuhnya sakit.” Mungkin jika Einstein, Bill Gates, dan Chairul
Tanjung berpikir hal yang sama, mereka bukanlah diri mereka yang ada seperti
saat ini. Mungkin mereka satu dari sekian juta pengangguran yang masih mencari
pekerjaan karena kondisi mereka. Mimpi memberi mereka sebuah peta ajaib yang
menuntun mereka pada harta karun kesuksesan.
Aku
pun sadar bahwa mimpi tanpa usaha adalah ilusi belaka. Aku teringat kata-kata
Chef Degan saat mengeliminasi seorang peserta dalam acara Masterchef Indonesia.
“If you want make your dream come true,
wake up!” Mimpi, bangun, dan implementasi adalah perjalanan panjang seorang
pemimpi untuk menjadi pemimpin di kemudian hari. Gagal, kecewa, dan airmata
pastilah mewarnai cerita dalam perjalanan menuju mimpi.
Sama
halnya dengan Mimpi Properti yang sedang membangun mimpi untuk mewujudkan mimpi
masyarakat Indonesia akan properti, aku pun akan berjuang untuk mewujudkan
rumah idaman itu menjadi nyata. Jika Mimpi Properti membangun navigasi dan
sarana pencarian rumah secara mudah dan cepat, aku akan merancang masa depan
lewat ilmu yang sudah ku dapatkan di bangku kuliah secara tepat dan cermat.
Aku
akan membangun sebuah bisnis kecil yang dapat menunjang kebutuhan hidupku di
masa mendatang. Aku sadar mimpi itu terlihat sangat jauh dan sangat sulit
dicapai, tapi bukankah berani bermimpi adalah ciri bahwa aku masih diberi nafas
kehidupan. Banyak orang yang takut bermimpi, akhirnya terpaksa mengubur mimpi
mereka dalam batu nisan. Tak heran, guruku pernah berkata bahwa tempat paling
kaya di muka Bumi adalah di kuburan karena disanalah terdapat jutaan mimpi
besar yang ditinggalkan oleh pemiliknya.
Sama
halnya dengan Mimpi Properti yang berjuang untuk membangun brand image baru dalam bidang pencarian properti online, aku pun berjuang untuk membangun
bisnis yang mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat di sekitarku. Aku tahu ada
harga mahal yang harus dibayar untuk sebuah mimpi, tapi bukankah itu sepadan
dengan investasi masa depan yang akan ku capai.
Aku,
Mimpi Properti, dan kita semua sama-sama merajut mimpi yang berbeda. Aku
bermimpi untuk rumah idaman yang nyaman. Mimpi Properti bermimpi untuk menjadi
sebuah sarana pencarian properti online
terdepan di Indonesia. Kita semua bermimpi untuk menjadi pribadi yang lebih
baik dari hari ke hari. Namun kita berada dalam satu frekuensi yang sama, yakni
percaya dan yakin bahwa kelak mimpi itu akan menjadi nyata.
Mari
kita rajut mimpi, untai harapan, dan bakar semangat agar langkah kaki kita
semakin dekat menuju impian!
Ikuti Lomba Blog Kontes Mimpi Properti dengan mengunjungi laman http://www.kontesmimpiproperti.com/ yang diselenggarakan oleh Mimpi Properti dan dapatkan uang jutaan rupiah!
~
oOo ~
No comments:
Post a Comment