Lomba Blog 1000 Kisah Tentang Ibu
Persembahan UNGU & Chocolatos
Hati Seorang Ibu
By. Daniel Hermawan
“Mother love is the fuel that enables a normal human being to do the impossible.”
(Marion C. Garretty)
Ku amati lekat sosok wanita tua yang senantiasa menyambutku sepulang sekolah. “Sudah pulang, Nil? Gimana tadi sekolahnya? Susah gak?” Itulah pertanyaan rutin yang selalu dilayangkannya padaku. Pertanyaan yang kadang membuatku jengkel dan bosan. “Udah ah capek. Sekarang mau tidur dulu.” balasku sambil beranjak meninggalnya. Membiarkannya terdiam membisu di tempat. Mama hanya mengumankan nafasnya perlahan dan melanjutkan pekerjaannya.
Itulah yang ku lakukan setiap hari. Malas menanggapi pertanyaan atau wejengan yang diberikannya sehabis sekolah. “Nil, banyak belajar ya. Sekarang semester penentuan. Jangan tidur malam-malam ya!” kata mama suatu kali. “Mama cerewet banget sih.” balasku sinis. Seringkali kalimat itu terucap ketika aku sedang sibuk bermain atau mengerjakan PR. Aku heran mama kok tidak bosan-bosannya menggangguku setiap saat.
“Nil, sudah makan belum?”
“Nil, sudah mandi belum?”
“Nil, sudah belajar belum?”
Cukup! Aku muak mendengar pertanyaannya yang sama setiap hari. Ingin sekali rasanya menghindari mama. Membebaskan telingaku dari omelan atau nasihatnya yang panjang lebar. Ku pikir mama hanya bisa mengekangku dan melarangku ini dan itu. “Nil, jangan main terlalu lama.” “Nil, jangan tidur terlalu malam.” dan berjuta “Nil, jangan…” Aku sempat berpikir mama ibarat borgol yang mengikat tanganku ke mana-mana. Hampir semua hal yang ku inginkan dilarangnya. Mama sudah merampas kebebasanku, pikirku suatu kali.
Suatu kali, sekolahku mengadakan pertemuan orang tua. Aku berjanji takkan pernah mengajaknya ke pertemuan sekolah. “Mama cuma bikin aku malu saja.” kataku padanya ketika ku serahkan surat edaran pertemuan orang tua padanya. Mama tampak sedih mendengar ucapanku. Tapi aku tak peduli. Aku lebih memilih papa untuk berangkat ke pertemuan orang tua di sekolahku. Aku malu teman-temanku mengenal sosok mamaku yang ndeso dan kuno itu. Bayangkan mau ditaruh ke mana mukaku jika teman-temanku membandingkan mamanya dengan mamaku. Aku bisa menciut seperti liliput barangkali.
Aku tak pernah mempedulikan perasaannya. Suatu kali, mama mengantarku ke sekolah untuk mengikuti perlombaan. Kebetulan aku harus berkumpul di rumah teman untuk mempersiapkan seluruh perlengkapan yang dibutuhkan. Jam masih menunjukkan pukul 04.30 WIB saat itu karena kami harus berangkat ke luar kota dengan mobil sekolah. Mama pun membawa mobilnya hingga ke depan pintu gerbang rumah temanku. “Ma, kok depan-depan banget sih?” protesku padanya. “Ga apa-apa kan? Mama pengen lihat teman-teman Daniel.” katanya polos. Sewaktu aku turun dari mobil, mama beranjak ingin turun menyusulku.
“Ma, udah ga usah turun. Malu sama teman-teman.” kataku padanya. Tampak ekspresi kekecewaan dan kesedihan yang amat sangat dalam di raut wajahnya. Aku pun beranjak pergi meninggalkannya dan hanya melambaikan tangan sekilas. Hatiku seolah terbuat dari baja yang tidak tahu betapa sakit hatinya mama dengan tingkah lakuku. Mama mengorbankan tidur nyenyaknya untuk mengantarkanku. Ku pikir itu semua wajar dilakukan semua orang tua di dunia, bukan?
Aku yakin semua orang berpikir aku anak paling kurang ajar dan durhaka sedunia. Parahnya lagi, aku tak pernah malu meminta tolong mama untuk membantuku ketika aku membutuhkannya. “Ma, bantuin bikinin kerajinan ini dong.” “Ma, bantuin beliin buku gambar A3.” “Ma, bantuin pijetin kepala.” Dan beribu-ribu permintaan lainnya yang ku ucapkan tanpa henti setiap hari. Mama tak pernah sekalipun menolak mentah-mentah permintaanku. Mama berusaha memenuhi semua keperluanku setiap saat.
Kadang mama tidak bisa memenuhi permintaanku yang banyak. “Maaf Nil, mama lagi sibuk sekarang. Nanti lagi ya.” Aku tak pernah peduli padanya. “Bilang aja mama ga mau nurutin permintaan Daniel. Ya kan?” kataku kencang. “Bukannya ga mau. Mama benar-benar sibuk sekarang.” balasnya perlahan. “Udah ah. Capek minta tolong sama mama. Susah.” kataku sambil meninggalkannya. Aku kesal karena mama tidak bisa memenuhi permintaanku yang menurutku amat sangat sederhana ini. Ku lihat mata mama berbinar, namun ia tidak pernah menangis.
Suatu kali, mama juga pernah meminta tolong padaku. “Nil, tolong jagain rumah ya.” pintanya padaku. “Enak aja. Daniel capek. Mama kok ga punya perasaan sih?” bentakku padanya. Aku pun beranjak masuk ke kamar. Tak lagi mempedulikan panggilannya. Mama pun pergi. Aku yakin mama memendam rasa kecewa padaku. Tapi aku tak peduli. Mama tidak boleh merusak waktu istirahatku. Ku biarkan mama kewalahan sendirian mengerjakan segala sesuatunya sendiri ketika papa sedang pergi ke luar kota.
Mama tidak pernah lelah menyapaku sepulang sekolah. Pekerjaan papa yang berat pun sanggup ditanganinya dengan baik. Semua dilakukan tanpa keluh kesah ataupun penyesalan. Semua dilakukannya dengan kesungguhan hati. Aku heran dengan mama. Kok bisa-bisanya ya seorang mama tegar dibentak, dihina, dan dijelek-jelekkan oleh anaknya sendiri? Aku tak mengerti sebenarnya mama terbuat dari apa. Aku sendiri saja sudah naik darah ketika direndahkan orang lain. Apa sebenarnya rahasia kekuatan mama?
Mama pernah mengantarku ke ajang perlombaan di Jakarta. Mama sengaja menyempatkan diri pergi untuk menemaniku. Dengan angkuh, aku berjalan di depannya. Tak peduli mama berusaha mengejarku. Gengsi banget melihat mama berjalan beriringan denganku. Aku pun tiba di lokasi lomba dan memutuskan untuk duduk sejauh mungkin dengan mama. Aku berharap tidak ada seorangpun yang tahu wanita tua yang duduk di kursi deretan belakang itu adalah mamaku. Betapa jahatnya hatiku saat itu pada mama.
Perlombaan pun berlangsung begitu lama hingga akhirnya tiba pada saat pengumuman. Namaku sama sekali tidak disebut dalam daftar pemenang. Seketika dunia, langit, dan Bumi serasa runtuh menimpaku. Sakit, pedih, kecewa, dan putus asa seketika mengisi rongga hatiku. Aku tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Aku bertanya-tanya dalam hati, kok begini jadinya. Aku kan sudah berusaha sebaik mungkin. Aku berusaha tenang dan sabar menghadapi kenyataan pahit ini, tapi tidak bisa.
Mama pun datang menghampiri dan mengajakku pulang. Aku stres, pusing, dan rasanya ingin meluapkan semua kesedihanku. “Nil, namanya juga perlombaan. Ada yang menang dan ada yang kalah. Mama tahu Daniel udah melakukan yang terbaik dan mama bangga sama Daniel.” kata mama sambil mengusap keningku. Aku terdiam selama berada dalam perjalanan pulang. Ucapan mama seolah menyadarkanku dari kebutaan yang selama ini mendekapku. Ya, mama ternyata sayang padaku.
Semenjak itu, aku sadar pada kesalahan besar yang ku perbuat pada mama. Mama yang sudah melahirkan dan membesarkanku dalam kandungan selama 9 bulan. Mama yang sudah merawat dan mendidikku hingga saat ini. Betapa bodohnya aku. Aku tak pernah menghiraukan nasihat-nasihatnya untuk kebaikan hidupku. Aku tak pernah membayangkan betapa sakitnya hati mama ketika aku malu mengajaknya ke sekolah dan mengenalkannya pada teman-temanku. Aku tak peduli seberapa sering mama meminta tolong padaku, sekalipun mama selalu berusaha memenuhi permintaanku. Oh, betapa durhakanya aku sebagai anakmu, Mama.
Hingga saat-saat terburuk kehidupanku datang, aku baru sadar Tuhan menciptakan mama untuk menjadi guardian angelku. Malaikat yang senantiasa menghibur dan memulihkan hatiku yang sedang dilanda kekecewaan dan kesedihan. Aneh, mama tak sekalipun merasa enggan atau malas memberikan tangannya untuk mengusap airmataku. Mama tak pernah dendam atas perilaku kurang ajar yang ku lakukan selama bertahun-tahun dalam hidupnya. Mama selalu tersenyum dan siap mengulurkan tangannya untuk memelukku. Membuatku mengerti bahwa mama benar-benar mencintaiku. Membuatku menyadari bahwa masih ada orang yang mau mengerti perasaanku.
Apakah teman-temanku peduli dengan rasa sakit yang ku derita setelah kekalahan itu? Jawabannya tidak sama sekali. Teman hanya ada di saat ku senang dan bahagia, selebihnya EGP (Emang Gue Pikirin). Padahal sudah berapa banyak hal yang sudah ku korbankan untuk temanku? Membantu mereka mengerjakan tugas atau sekedar menemani jalan-jalan. Itukah balasan mereka untukku? Seketika mataku tertuju pada mama. Aku malu. Aku tak sanggup lagi menatap wajah tua itu. Wajah yang dibangun dengan ketegaran dan kasih sayang yang abadi pada anak-anaknya. Mama tak pernah sekalipun melupakanku, sekalipun aku berada dalam titik terendah dalam kehidupanku sekalipun.
Setiap hari, mama berusaha membangkitkanku dari kekecewaan itu. Lambat laun hatiku luruh oleh perhatian dan kasih sayangnya. Mama memberiku semangat. “Masih ada hari esok, Nil. Jangan berhenti sampai di sini karena satu kegagalan.” katanya perlahan. Hingga akhirnya aku bangkit kembali. Cinta mama telah mengisi pori-pori hatiku yang luka dan menutupnya dengan sentuhan kasih sayang. Betapa manjurnya cinta mama mengobati luka hatiku.
Aku bertanya dalam hati. Terbuat dari apakah hati mama? Aku heran betapa tegar dan kuatnya mama mengalami penghinaan terbesar dari anaknya, darah dagingnya sendiri. Apa mama pernah menyesal melahirkanku 17 tahun yang lalu dengan tingkah lakuku selama ini? Berjuang mempertaruhkan nyawa untuk melahirkanku ke dunia, menyekolahkan, dan mendidikku selama 17 tahun. Dan apa yang mama terima selama ini dariku? Aku membalas penderitaannya selama 9 bulan mengandungku dengan mencaci makinya. Aku membalas keringat dan kesabarannya mengajariku berhitung dan membaca dengan menghinanya. Aku membalas semua jasa dan kebaikan yang telah mama berikan dengan kejahatan. Bahkan aku pernah menyesal punya mama yang cerewet seperti ini.
Mama, maafkan aku. Aku tak sadar selama ini mama sudah memberikan semua yang terbaik buat hidupku. Aku tak pernah menghargai semua yang telah kau lakukan. Mama, aku malu. Malu dengan segala tingkah lakuku. Malu melihat sosokmu yang tulus. Aku merasa tidak layak menjadi anakmu. Anak yang bisa kau banggakan. Anak yang mencintai mamanya dengan sepenuh hati. Mama, maukah kau memaafkan segala perbuatanku yang menyakiti hatimu selama ini?
Mama tersenyum mendengar pengakuanku. Ia berkata, “Nil, hati seorang ibu itu ibarat sebuah lautan yang dalam. Menyimpan suka, duka, luka, dan kenangan tanpa batas. Segala kesedihan semua mama tampung dalam hati. Semua rasa kecewa dalam hati mama hilang ketika mendoakanmu. Mendoakan supaya suatu hari nanti Daniel bisa berubah. Seburuk, sejelek, atau sejahat apapun, Daniel tetep anak mama yang paling mama sayangi. Mama sudah memaafkanmu, Nil. Mama hanya minta satu hal supaya kamu bisa jadi anak yang baik.” kata mama sambil mengelus-elus rambutku. Aku pun memeluknya dan menangis. Mama masih mau menerimaku sebagai anaknya.
Aku sadar masih banyak hal yang harus ku ubah dalam diriku. Aku berusaha menghilangkan sifat burukku pada mama. Aku tahu masih banyak hal yang mengecewakannya, namun aku akan berusaha membahagiakan mama. Aku tak ingin semuanya terlambat untuk membalas kasih sayang mama selama ini. Sudah cukup sampai di sini saja aku hilang dalam padang belantara hidupku. Aku beruntung masih punya mama yang menyayangiku dengan sepenuh hati. Berbeda dengan teman-temanku atau mereka yang sudah tidak mempunyai mama.
Hati mama sama seperti Gery Chocolatos. Meluluhkan hatiku bagai lelehan coklat pasta di lidah. Melegakan jiwaku bagai tiap gigitan Chocolatos. Memberiku kasih sayang ibarat coklat yang tak pernah habis di lidah. Mama mengerti dan peduli keinginanku seperti Gery Chocolatos yang menyajikan stik coklatnya di waktu senggangku.
Aku akan menjaga mama sampai garis akhir. Ya, itulah janjiku padamu, Mama. Kini ku lihat sosokmu tersenyum menyambutku sepulang sekolah. “Semoga kau menjadi anak yang sukses.” doamu padaku di setiap waktu. Terima kasih mama untuk cinta yang kau berikan selama ini.
~ oOo ~
No comments:
Post a Comment