Friday, January 29, 2016

Sepasang Kaki Bernama Mimpi



Lomba Blog Difabilitas



Sepasang Kaki Bernama Mimpi

Sumber: brilio.net
Apa yang akan kau lakukan ketika melihat anak-anak seusiamu berlari dengan riang gembira di lapangan sambil tersenyum dan tertawa? Saat kau ingin bergabung bersama mereka, kau terjatuh dari kursi roda yang membopong tubuhmu selama ini. Kau tentu ingin menangis dan mempertanyakan keadilan Tuhan dalam memberikan kondisi fisik yang tak sempurna bagi ciptaan-Nya. Di saat keputusasaan melanda dan harapan yang mulai memudar, justru nyala mimpi semakin terang menciptakan bara api menyala untuk membuatmu terus berjalan kendati kakimu tak berdaya.



Itulah Risnawati Utami, penyandang Cerebral Palsy yang harus menjalankan hidupnya dari atas kursi roda sejak usia 4 tahun. Di saat anak-anak lain seusianya mampu bermain petak umpet, lompat tali, atau berlari pagi di lapangan, ia mungkin hanya duduk diam melihat keceriaan itu dari kursi rodanya. Tapi Risna tak mau larut dalam kesedihan terlalu dalam. Ketika Sekolah Luar Biasa menjadi pilihan utama bagi penyandang disabilitas, Risna justru memilih bersekolah di sekolah umum layaknya orang normal pada umumnya. Baginya, bersekolah di sekolah umum bukanlah monopoli orang yang sempurna secara fisik saja, tetapi juga ia yang memiliki kekurangan.



Beranjak kuliah, ia membuktikan bahwa kaum difabilitas bukanlah kaum terbuang yang tidak mampu berbuat apa-apa. Ia meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Negeri Sebelas Maret Solo pada 1997. Selepas kuliah, kenyataan hidup kembali membuatnya terjatuh. Ia sadar bahwa mencari pekerjaan bagi kaum difabel adalah hal yang sulit. Stereotip bahwa kaum difabel tidak berkontribusi aktif bagi perusahaan membuat banyak perusahaan enggan mempekerjakan kaum difabel.

Sumber: iie.org

Ketika keputusasaan mulai melanda, Risna bergabung dalam Yayasan Talenta yang memperjuangkan hak-hak kaum difabel di Solo. Saat ia aktif bergelut bagi hak-hak kaum difabel, saat itu pula “kedua kakinya” mampu bergerak. Risna lolos mendapatkan beasiswa S2 dari Brandies University di Waltham, Amerika Serikat. Kini ia bisa berjalan dengan “kedua kakinya” untuk meraih kesuksesan.



Risnawati mungkin hanyalah satu dari sekian banyak kaum difabel yang percaya bahwa kekurangan fisik bukanlah halangan untuk berkarya. Justru ia sadar bahwa kekurangan fisik inilah yang menjadikannya kuat dan mampu bertahan melewati berbagai fase kehidupan yang dialaminya selagi kecil hingga kuliah. Risna tak memilih menangis di kamar karena menyesali hidup yang telah memberinya kondisi kaki yang tak sempurna, melainkan ia berani keluar untuk menunjukkan bahwa seorang Risna pun mampu bersaing dengan orang normal lainnya.



Kisah Risna ini bisa menjadi renungan bagi kita semua bahwa mimpi tak pernah membatasi siapapun untuk meraih kesuksesan. Sebagai manusia yang dikaruniai kondisi tubuh yang lengkap, sudah sewajarnya kita mampu berkarya dengan lebih baik dan berdampak bagi orang-orang di sekitar kita. Semangat kaum difabel yang tak pernah menyerah inilah yang perlu kita adaptasi bersama dalam kehidupan sehari-hari agar kekuatan dan daya juang hidup kita terus menyala dengan berbagai kondisi kehidupan yang kita alami.



Melihat kisah Risna, tentu pemerintah pun harus mengambil peran dalam menciptakan kesetaraan bagi kaum difabel yang ingin meraih mimpinya. Selama ini sistem pendidikan kita bagi kaum difabel cenderung kurang berpihak. Buku pelajaran, materi, hingga ujian di sekolah umum rata-rata tidak menyediakan kertas dengan huruf Braille bagi penyandang tunanetra atau minimnya lingkungan sekolah yang ramah difabel dengan banyaknya tangga yang curam. Padahal kaum difabel juga ingin bersekolah seperti anak biasa yang mampu mengerjakan PR, ujian, hingga mengikuti kegiatan tambahan di sekolah.

Sumber: foto.viva.co.id

Demikian juga fasilitas untuk kaum difabel di tempat umum dilupakan atau dikesampingkan karena dianggap mubazir dan jarang digunakan. Alhasil kaum difabel sangat kerepotan dan dianggap merepotkan orang lain ketika menaiki transportasi umum. Demikian juga jalur kuning yang menonjol di trotoar yang kerapkali rusak yang seharusnya mampu menjadi panduan kaum tunanetra untuk berjalan secara mandiri dibiarkan begitu saja. Pemerintah juga belum memperlakukan kaum difabel secara setara layaknya orang normal pada umumnya.



Demikian juga dengan pengalaman Risna yang ditolak kerja akibat kondisi fisiknya yang mempunyai kekurangan. Kaum difabel kerapkali dipandang sebelah mata oleh perusahaan. Pemerintah pun masih minim dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka yang mempunyai kekurangan. Maka dari itu, pemerintah harus membangun atau melatih kaum difabel agar mampu berkarya secara mandiri dengan kemampuan yang mereka miliki, mulai dari pijat tunanetra, berprestasi di olimpiade, hingga bersekolah hingga ke luar negeri. Bisa juga dengan mempekerjakan kaum difabel sebagai PNS atau lembaga pemerintahan tertentu sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.



Kaum difabel memang bukanlah mayoritas dari penduduk Indonesia, namun keberadaan mereka pun mampu berdampak bagi kehidupan di Indonesia. Kisah Risnawati Utami membuktikan bahwa sepasang kaki yang dimilikinya kini bukanlah kaki yang terkena polio, melainkan mimpi yang mengantarnya menuju beasiswa S2 di Amerika Serikat untuk meraih kesuksesan.   



~ oOo ~

2 comments:

  1. kerri@mail.postmanllc.net

    ReplyDelete
  2. Stainless Steel Case of Merkur - T-Shirts
    You get your stiletto titanium hammer personalized Stainless titanium curling wand Steel Case of Merkur titanium jewelry and our winnerwell titanium stove special edition Stainless Steel Case titanium app to your next shopping trip!

    ReplyDelete