Lomba Tulis Ritel 2010 Kategori Umum
Tema : “Potensi ritel makanan (grocery) di daerah dan solusi permasalahannya”
Optimalisasi Ritel Makanan : Implementasi Private Label Dalam Membangun Brand Awareness Konsumen
Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), bisnis ritel makanan (grocery) merupakan industri strategis di Indonesia. Bagaimana tidak? Bisnis ritel makanan merupakan industri terbesar kedua setelah pertanian yang dapat menyerap tenaga kerja di Indonesia. Bisnis ini juga diyakini memiliki pergerakan yang dinamis dari masa ke masa. Tak heran jika banyak pengusaha yang berhasil melihat prospek bisnis ritel makanan di Indonesia mampu meraup keuntungan yang besar dari sektor ini.
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keragaman budaya dan sumber daya alam yang melimpah. Hal ini juga mengindikasikan adanya potensi yang besar pada bisnis ritel makanan di daerah-daerah. Sebagai contoh, kita tentu tak asing lagi dengan Bika Ambon. Makanan ini memiliki potensi yang besar sebagai oleh-oleh dari Medan. Di samping itu, kita juga mungkin mengenal Pisang Bolen, Brownies, Batagor, dan Nasi Kalong dari Bandung. Makanan khas Kota Kembang ini tak pernah sepi dikunjungi konsumen. Selain rasanya yang enak, mereka memiliki brand awareness tersendiri di mata konsumen.
Meskipun demikian, perkembangan bisnis ritel makanan sendiri tidak terlepas dari adanya berbagai tantangan, seperti masalah regulasi, perizinan, infrastruktur, persaingan, tekanan publik, dan lain sebagainya. Ibarat rumah, bisnis ritel makanan harus membangun fondasi yang kuat dalam mengembangkan potensinya secara optimal. Hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti memilih pangsa pasar yang tepat, lokasi yang strategis, promosi dari mulut ke mulut, “bersahabat” dengan pemerintah, dan pemberian private label pada bisnis ritel makanan.
Optimalisasi Ritel Makanan : Pangsa Pasar yang Tepat
Melihat keanekaragaman budaya dan sumber daya alamnya yang melimpah, Indonesia memiliki potensi bisnis ritel makanan yang besar di daerah-daerah. Kita dapat mempelajari bagaimana Nasi Kalong mampu sukses dan meraup keuntungan yang besar di Bandung. Nasi Kalong adalah warung makan yang ada di Jalan Riau Bandung. Warung yang didirikan secara semi permanen ini memiliki konsumen yang loyal. Tak heran jika banyak konsumen rela mengantri demi mencicipi Nasi Kalong.
Tentu kita bertanya dalam hati, mengapa Nasi Kalong yang kelihatan “tidak meyakinkan” ini bisa menarik konsumen untuk datang. Jika dibandingkan dengan rumah makan yang ada di sekitarnya, rasanya Nasi Kalong tidak memiliki tempat dan fasilitas yang memadai. Itulah yang justru menjadi kelebihan Nasi Kalong di mata konsumen. Nasi Kalong mampu menjawab pangsa pasar yang ada di Bandung dengan cermat.
Nasi Kalong memiliki strategi pemasaran yang baik dan daya tarik tersendiri bagi konsumen. Dengan modal warung semi permanen, meja, dan kursi yang berjejeran, Nasi Kalong sebenarnya sudah menjawab apa yang diinginkan konsumen. Nasi Kalong membidik konsumen yang ada di wilayah Jalan Riau. Mereka melihat kondisi ekonomi masyarakat yang ada di Jalan Riau rata-rata berkisar menengah ke bawah. Tentu sangat tidak etis jika mendirikan rumah makan dengan properti dan gedung yang megah untuk menarik konsumen dalam jumlah yang besar.
Mendirikan warung yang seala kadarnya ini membuat masyarakat yang berkocek pas-pasan berani untuk mencoba cita rasa Nasi Kalong. Dengan paduan rasa yang pas di lidah masyarakat Bandung, Nasi Kalong menjadi digemari dan laris dikunjungi konsumen. Harganya yang murah meriah dan ringan di kantong konsumen juga menjadikan Nasi Kalong makanan favorit yang bisa menjaring semua kalangan. Berawal dari inilah, Nasi Kalong bisa maju dan sukses hingga saat ini. Nasi Kalong mampu membaca pangsa pasar yang ada di daerah.
Optimalisasi Ritel Makanan : Lokasi yang Strategis
Bisnis ritel makanan tentu harus ditunjang dengan konsep keterjangkauan yang baik. Dalam hal ini, lokasi yang strategis akan menjadi indikator sukses atau tidaknya bisnis ritel di daerah. Contoh bisnis yang dapat kita pelajari memiliki lokasi yang strategis adalah Kartika Sari di Bandung. Hampir setiap hari, bisnis yang bergerak di bidang roti dan kue ini ramai dikunjungi pembeli.
Kartika Sari seringkali menjadi oleh-oleh khas Bandung yang digemari oleh wisatawan dengan pisang bolen sebagai produk andalannya. Pertanyaan yang akan muncul di benak kita adalah mengapa Kartika Sari bisa mengalahkan usaha-usaha sejenis yang ada di Kota Bandung. Jawabannya singkat: lokasi yang strategis. Kartika Sari mendirikan bisnisnya di pusat-pusat keramaian, seperti Jalan Dago, H. Akbar, dan tempat-tempat yang ramai dikunjungi masyarakat. Masyarakat dapat dengan mudah berkunjung ke Kartika Sari untuk membeli pisang bolen dan menu lainnya.
Tentu kondisi ini akan berbeda jika Kartika Sari didirikan di tempat yang jauh dari keramaian. Sebagus apapun bentuk fisik bangunan tersebut, konsumen tentu akan merasa jengah dan malas untuk berkunjung. Di samping itu, lokasi yang tidak strategis juga sangat merugikan bagi bisnis ritel makanan. Makanan yang tidak terjual dapat cepat basi dan pembelian bahan baku pembuatan produk memerlukan biaya transportasi yang tinggi. Alih-alih mencari keuntungan, justru kerugian besar yang didapat. Dalam hal ini, lokasi yang strategis dapat mendukung perkembangan bisnis ritel makanan di daerah.
Optimalisasi Ritel Makanan : Promosi dari Mulut ke Mulut
Dalam dunia bisnis, tidak ada kekuatan marketing yang bisa menandingi kekuatan promosi dari mulut ke mulut. Promosi ini mampu mendongkrak rasa keingintahuan konsumen dan meningkatkan penjualan bisnis ritel makanan di daerah. Analoginya dapat kita lihat seperti ibu-ibu yang sedang berbelanja di pasar. Ibu A dapat bergosip dengan ibu B tentang harga bahan makanan yang murah di toko C. Ibu A dapat menceritakan bagaimana kualitas produk dan harga yang terjangkau di toko C. Hal ini tentu dapat membuat Ibu B tertarik walaupun beliau belum pernah berkunjung ke toko C. Inilah yang dimaksud dengan promosi dari mulut ke mulut.
Bisnis ritel makanan di daerah dapat berkembang dengan pesat atau justru mengalami kebangkrutan dengan adanya promosi dari mulut ke mulut. Jika kita mampu memberikan citra yang baik pada pandangan pertama di mata konsumen, konsumen akan mempromosikan secara gratis tentang keunggulan dan keuntungan berbelanja di tempat bisnis ritel makanan kita. Sebaliknya, jika kita menimbulkan kesan yang tidak baik di mata konsumen, promosi semacam ini dapat menjadi bumerang tersendiri bagi kita. Konsumen dapat mendorong konsumen lainnya untuk tidak berkunjung ke tempat kita.
Promosi dari mulut ke mulut memiliki dampak psikologis yang tinggi bagi konsumen. Konsumen jauh lebih percaya pada perkataan konsumen lainnya daripada promosi yang gencar dari pihak bisnis itu sendiri. Dalam hal ini, bisnis ritel makanan di daerah harus membangun reputasi yang baik di mata konsumen. Reputasi baik ini dapat terjaga dengan memberikan pelayanan yang memuaskan, menggunakan bahan makanan berkualitas, serta menjaga kebersihan dan keamanan tempat bisnis.
Bayangkan jika konsumen diberi pelayanan yang buruk oleh pelayan rumah makan. Ditambah, makanan yang disajikan sudah tidak higienis dan diperparah oleh tempat yang kotor dan rawan pencopet. Tentu konsumen akan berpikir dua kali untuk berkunjung ke tempat makan tersebut. Maka membangun reputasi yang baik sangatlah penting dalam menunjang perkembangan bisnis ritel makanan di daerah.
Optimalisasi Ritel Makanan : “Bersahabat” dengan Pemerintah
Bisnis ritel makanan akan berkembang dengan baik jika kita mampu “bersahabat” dengan pemerintah. “Bersahabat” di sini tentu bukan dalam arti berteman, melainkan patuh pada aturan dan tata tertib yang berlaku. Sebagai contoh, semua produk makanan harus memiliki perizinan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dalam hal ini, sebagai pendiri bisnis ritel makanan yang baru, kita harus patuh dan mengikuti prosedur yang ditetapkan pemerintah. Memang hal ini tidak mudah karena proses perizinan produk makanan dapat memakan waktu yang cukup lama, yakni hingga 2 tahun.
Tentu kebijakan pemerintah yang terkesan menyulitkan pengusaha ini patut kita kritisi dengan baik. Upaya tersebut sudah terlihat dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang mendesak BPOM untuk mempermudah proses perizinan produk makanan guna meningkatkan daya saing industri nasional di tengah serbuan produk impor. Dalam hal ini, pemerintah harus berperan aktif dalam memajukan bisnis ritel makanan di Indonesia. Apalagi didasari fakta bahwa bisnis ritel makanan menempati posisi terbesar kedua yang sangat berpengaruh bagi perekonomian bangsa.
Para pengusaha bisnis ritel makanan juga harus mendaftarkan produk makanannya ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mendapatkan sertifikasi halal. Hal ini sangat penting bagi perkembangan bisnis ritel makanan di Indonesia, apalagi mayoritas penduduk Indonesia beragama muslim. Sertifikasi halal akan memberikan rasa nyaman dan tenang di hati konsumen karena produk makanan yang dibelinya sudah terjamin kehalalannya. Berbeda dengan produk makanan yang tidak berlabel halal, tentu akan ada kesan buruk tersendiri di hati konsumen untuk tidak membeli produk tersebut.
Bisnis ritel makanan akan berkembang dengan baik jika pengusaha terkait mampu “bersahabat” baik dengan pemerintah. Jangan melakukan pelanggaran terhadap regulasi, ketentuan, dan aturan yang berlaku karena dapat menyulitkan pengusaha di kemudian hari.
Optimalisasi Ritel Makanan : Pemberian Private Label
Bagi perusahaan berskala besar, seperti hypermarket, pemberian private label dapat menjadi solusi yang ampuh dalam meningkatkan penjualan produk. Saat ini, banyak kita temukan produk-produk makanan produksi hypermarket tertentu memiliki mutu yang berimbang dengan produk ternama. Produk ini sebagian besar menjadi pilihan konsumen ketika berbelanja di hypermarket tersebut. Bagaimana tidak? Harganya yang murah dan daya beli konsumen yang akhir-akhir menurun membuat private label menjadi pilihan alternatif bagi konsumen.
Hal ini juga dapat kita terapkan pada bisnis ritel makanan. Meskipun tidak dikemas secara profesional dengan teknologi yang canggih, bisnis ritel makanan harus memiliki private label tersendiri guna membangun brand awareness konsumen. Misalnya, roti Sidodadi. Bisnis kue dan roti ini selalu diramai dikunjungi konsumen dan produk yang dijual selalu habis setiap hari. Mengapa bisa demikian? Sidodadi memiliki private label tersendiri bagi konsumen. Dengan kemasan tersendiri, konsumen merasa puas telah membeli Sidodadi sebagai oleh-oleh.
Brownies Amanda pun demikian. Meskipun banyak usaha brownies yang berdiri di tanah air, Brownies Amanda tetap menjadi pilihan utama. Demikian pula dengan Toko Yen. Toko yang menjual oleh-oleh khas Lampung ini menjadi primadona wisatawan dalam membeli oleh-oleh. Hal ini terjadi karena adanya keterikatan batin konsumen dengan produk berlabel tersebut. Konsumen menjadi sadar label (brand awareness) dan akhirnya memiliki pola pikir bahwa produk dengan label A yang terbaik. Pemberian label ini sangat jitu untuk menarik konsumen dan diterapkan sejumlah usaha makanan, seperti BreadTalk, J.CO Donuts, dan lain sebagainya.
Optimalisasi ritel makanan di daerah dapat dikembangkan secara efektif dengan upaya dan strategi bisnis yang tepat. Potensi ritel makanan yang besar ini dapat dioptimalkan jika pengusaha mampu menyediakan produk dalam menjawab kebutuhan konsumen. Di samping itu, bisnis ritel makanan juga dituntut untuk memberikan inovasi dan diferensiasi produk guna meningkatkan daya tarik konsumen di era modern ini. Bisnis ritel makanan di daerah akan terbangun dengan baik jika kita memiliki private label yang bisa membangun brand awareness konsumen secara berkesinambungan. Mari bersama kita kembangkan bisnis ritel makanan!
Referensi :
http://www.pom.go.id/
http://www.franchisewaralaba.com/search/bisnis+ritel+makanan
http://www.dokterbisnis.net/2009/10/07/izin-gangguan-syarat-mutlak-pengajuan-ijin-usaha-lainnya/
http://indocashregister.com/2009/03/17/peta-persaingan-bisnis-ritel-modern-di-indonesia-2009-mesin-kasir/
http://www.padrowidjaja.com/private-label-rights/private-label-rights/
~ oOo ~
enak .....bngt mkn'y????? mw donk???????????
ReplyDelete