Life Is A Book - Berbagi inspirasi dan kreasi lewat kata. Mengisi lembaran kehidupan dengan cerita dan kisah. Sebuah kumpulan memoar kehidupan dalam jejak waktu dan ruang. Selamat menjelajah dan menikmati petualangan literasi dalam setiap alurnya - Life Is A Book

Thursday, October 29, 2015

Membeli Tanpa Menghancurkan, Bisakah?

Lomba Menulis #BeliYangBaik
Tema: "Sustainable Palm Oil, Gaya Hidup Konsumen Bijak"




Membeli Tanpa Menghancurkan, Bisakah?

Sumber: www.thenation.com

Sebagai mahasiswa, gaya hidup hemat menjadi prinsip hidupku sehari-hari. Segala sesuatu yang murah meriah pasti selalu menjadi perhatianku. Ketika berbelanja ke supermarket, aku akan menyeleksi produk berdasarkan harga. Kalau ada diskon ya dibeli, kalau tidak ya gigit jari saja karena keuangan yang terbatas. Demikian juga saat makan di sekitar kampus, pastilah cari yang murah meriah. Kalau dosenku bilang sih 4M, yaitu murah, meriah, muntah, dan mencret. Pokoknya harga jadi indikator utama beli atau tidaknya suatu produk.

            
Sebelum berangkat kuliah, aku mandi supaya badan terasa segar saat berada di kampus. Nah aku pasti menggunakan sampo dan sabun dari merek yang ekonomis dan berbusa banyak. Kan lumayan kalau sudah hampir habis bisa direfill dengan air, supaya ada busanya lagi. Saat sarapan, aku memakan roti tawar yang sudah dipack dan diberi selai. Lumayan untuk ganjal perut sih. Bisa juga makan mie instan yang tinggal diseduh karena praktis dan ga ribet. Apalagi kalau kuliah pagi dosennya killer, mending cari aman makan yang siap saji saja, bukan?

             
Sesudah kuliah, biasanya jalan-jalan jadi aktivitas yang asyik untuk refreshing pikiran. Nongkrong di tempat makan sambil main laptop karena Wi-Fi gratis pasti jadi aktivitas rutin buat ngerjain tugas kelompok. Biar ga diusir karena kelamaan, biasanya aku pesan makanan yang bisa buat ramai-ramai, kayak pizza dan es krim. Ujung-ujungnya sih malah jadi ngobrol daripada ngerjain tugas, tapi yang penting hepi kan. Begitu pulang, biasanya aku makan lagi kue, mie instan, dan aneka macam makanan di meja karena kelaparan. Begitulah seterusnya setiap hari sebagai mahasiswa.

             
Ketika di kampus, aku aktif menyuarakan pendapat untuk gerakan #MelawanAsap. Apalagi kebakaran hutan dan lahan terus terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan yang mematikan perekonomian masyarakat setempat. Aku turut menghimpun dana untuk menolong korban bencana asap dengan pembagian masker dan pendirian posko kesehatan. Tapi aku tak sadar bahwa aku adalah salah satu aktor dari pembakaran hutan itu sendiri. Kok bisa? Saat aku membeli produk tanpa melihat bahan baku yang mereka gunakan, saat itu pula sebenarnya idealismeku dipertanyakan. Apakah memang kebakaran hutan ini salah oknum tertentu saja atau justru aku pun terlibat dalam upaya pembakaran lahan dan hutan ini?

             
Berbicara tentang kebakaran hutan dan lahan, aku melihat bahwa minyak kelapa sawit adalah bahan baku dari hampir semua produk kebutuhan sehari-hari yang kita pakai. Sampo dan sabun yang kita pakai saat mandi, roti tawar dan mie instan saat sarapan, pizza dan es krim saat hangout, dan aneka macam kue semua menggunakan minyak kelapa sawit sebagai salah satu komponennya. Tentu aku sadar bahwa minyak kelapa sawit sangatlah dibutuhkan untuk memproduksi semua barang yang aku konsumsi sehari-hari.

             
Lantas apa hubungannya aku dan kebakaran hutan? Kok seperti langit dan Bumi ya? Jika mengacu pada teori permintaan dan penawaran, aku melihat kalau permintaan tinggi, maka produksi produk akan gencar dilakukan untuk memenuhi permintaan tersebut. Tak heran rasanya kalau hutan dan lahan dibabat demi menyediakan bahan baku yang dibutuhkan untuk pembuatan produk. Dalam hal ini, minyak kelapa sawitlah yang sangat dibutuhkan oleh semua industri untuk memproduksi produk kebutuhan sehari-hari. Alhasil, aksi deforestasi besar-besaran pun terjadi demi memenuhi permintaan konsumen yang dilakukan dengan pembakaran hutan dan lahan.

             
Ironis rasanya, tatkala aku mengkampanyekan aksi Go Green, #MelawanAsap, dan beragam kegiatan ramah lingkungan, tapi aku pun terlibat dalam rantai kehancuran hutan dan lahan di Indonesia. Aku berkontribusi dalam membeli produk yang menggunakan minyak kelapa sawit yang tidak ramah lingkungan dengan dalih harga yang murah. Terkadang aku lupa bahwa di saat aku memperjuangkan kebenaran, di satu sisi mungkin aku terlibat sebagai aktor dari ketidakbenaran itu sendiri. Saat itulah aku harus berkaca pada kantong keresek yang membawa barang belanjaanku dari supermarket.

             
Sebagai konsumen dan mahasiswa yang cerdas, seharusnya aku sadar bahwa terlibat dalam kampanye ramah lingkungan itu bukan sekadar demo besar-besaran, aktif memberikan twit, atau keliling kampus untuk mengumpulkan dana. Selektif dalam membeli produk bisa jadi salah satu cara ampuh yang bisa mencegah rantai kehancuran hutan dan lahan terjadi secara terus menerus. Dengan begitu, aksi deforestasi bisa diminimalisir dan dikendalikan karena konsumen cerdas menuntut bahan baku produk yang ramah lingkungan.

             
Dalam hal ini, aku harus menyeleksi produk yang aku beli sehari-hari dengan standar yang ditetapkan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), yakni standar Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) yang teruji dengan baik. Standar yang ditetapkan ini bukanlah asal diberi label saja, melainkan diperhatikan secara seksama dari tahap produksi yang dilakukan. Dari segi standar, RSPO mengaudit rantai pasokan produk apakah sesuai kriteria dan prinsip yang ditetapkan atau tidak. Dari segi akreditasi, RSPO akan menilai perusahaan X kredibel atau tidak. Dari segi persyaratan produksi, apakah produk yang dibuat memperhatikan aspek keramahan lingkungan atau tidak.

Sumber: www.sustainablepalmoil.org
Nah produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan ini bisa dicapai kalau aku membeli produk yang sudah teruji oleh RSPO sebagai produk yang menggunakan CSPO. Membeli produk yang mempunyai CSPO ini bukan berarti menguntungkan aku saja sebagai konsumen agar mendapatkan produk yang sehat dari bahan baku yang teruji, tetapi juga mereka yang ada di belakang layar produksi. Upah tenaga kerja yang layak, tata cara pengambilan minyak kelapa sawit yang tepat, serta proses produksi yang berkualitas menjadi sebuah misi mulia yang tercapai kalau aku membeli produk yang menggunakan CSPO.

             
Rasanya tidak sulit bagiku untuk mengeluarkan 500 – 1.000 rupiah lebih mahal untuk aksi menyelamatkan Bumi akibat pembakaran hutan dan lahan besar-besaran. Ketimbang melihat Indonesia dikepung asap dan berkoar-koar di depan gedung pemerintah, bukankah sebaiknya aku mawas diri dengan apa yang aku konsumsi sehari-hari. Kalau aku memutus mata rantai deforestasi dengan membeli produk yang menggunakan CSPO, pastilah perusahaan akan sadar untuk tidak membakar lahan secara membabi buta untuk memenuhi permintaan konsumen.

Sumber: www.rspo.org
Kini sebagai mahasiswa, aku sadar bahwa murah meriah itu penting untuk menyelamatkan dompet, tapi lebih penting lagi saat aku menyadari bahwa setiap pilihan produk di supermarket ternyata mengandung konsekuensi. Saat aku mau membeli produk yang berkualitas CSPO, saat itu pula aku sudah menjadi agen penyelamat hutan secara tidak langsung. Jadi membeli tanpa menghancurkan itu bukanlah sesuatu yang mustahil, tapi tergantung dari pilihanku saat berada di supermarket. Masa depan Indonesia berada di tanganku, tanganmu, dan tangan kita semua saat membeli produk.



~ oOo ~

Tuesday, October 20, 2015

Memaksimalkan Potensi Local Brand #SmescoNV

Lomba Blog SMESCO Netizen Award

Tema: “Local Brand Lebih Keren”

Memaksimalkan Potensi Local Brand #SmescoNV
Sumber: www.pesona.co.id
Berbicara tentang local brand, mungkin hal yang pertama kali terlintas di benak kita adalah kerajinan tangan atau produk yang dihasilkan dari pedesaan. Tidak salah memang, namun citra tersebut sudah mendarah daging dalam benak kita. Berbeda rasanya tatkala kita menyebut ZARA, Armani, Louis Vuitton, Rolex, Uniqlo, dan lain sebagainya yang gerainya biasa kita temukan di mal mewah, pasti kita mengatakan bahwa merek tersebut menjual produk yang prestisius, elit, dan berkesan wah. Tak heran jika banyak orang yang rela menghabiskan uang jutaan hingga ratusan juta rupiah demi mendapatkan produk yang dikatakan limited edition dari gerai merek internasional ini.
            
Ironis memang tatkala gerbang masuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 akan segera dibuka, masyarakat Indonesia lebih menyukai merek asing dibandingkan merek lokal. Tentu kita juga tidak bisa menyalahkan konsumen karena selera pasar bukanlah hal yang sinkron tatkala dikaitkan dengan nasionalisme atau rasa cinta terhadap produk tanah air. Tapi bisa jadi ada sebuah benang merah dibalik stagnannya pertumbuhan local brand di tengah era persaingan ekonomi global yang menuntut sebuah produk yang inovatif, kreatif, dan lain daripada yang lain.
              
Secara umum, produk local brand Indonesia sangatlah kaya dan beragam, mulai dari fashion, aksesoris, makanan, hingga kerajinan tangan. Sayangnya, promosi dan pengembangan produk lokal menjadi sebuah hal yang kerapkali diabaikan oleh pengusaha local brand. Asalkan mendapat omzet yang besar dari wisatawan asing atau lokal yang datang, mereka akan berpikir bisnis ini aman-aman saja. Padahal produk yang dihasilkan pun mempunyai siklus hidup yang perlu mendapat perhatian serius dari pengusaha lokal. Bisa jadi produk yang mereka jual saat ini sudah di tahap jenuh dan mendekati ambang kematian (mature product).
Sumber: www.yesshare.com
Tak hanya itu, kerapkali pengusaha local brand cenderung berpikir untuk menerapkan cost advantages strategy alias menjual produk dengan harga yang murah. Padahal konsumen tidak serta merta membeli produk karena harga yang murah. Akibatnya demi melakukan penghematan biaya bahan baku, tenaga kerja, dan berbagai faktor operasional lainnya, pengusaha memangkas kualitas produk demi mendapatkan keuntungan dari harga jual murah. Wajar rasanya jika konsumen tidak membeli local brand tatkala kualitas yang ditawarkan cepat rusak, cepat sobek, dan lain sebagainya karena kompromi kualitas yang dilakukan. Jika berbicara tentang harga murah dan kualitas lumayan, bisa jadi konsumen lebih memilih produk dari Tiongkok ketimbang Indonesia karena kemampuan manufaktur yang tinggi dan biaya tenaga kerja yang rendah.
             
Sayang rasanya jika produk Indonesia yang dikenal karena kearifan lokal dan ciri khas budaya yang unik ini justru menjadi tersisih di negeri sendiri karena dinilai tidak berkualitas oleh pasar. Maka dari itu, penting rasanya bagi local brand untuk mengutamakan kualitas ketimbang menjual dengan harga yang murah. Jangan lagi berada pada paradigma “yang penting laku”, tapi mulailah berpikir “produk yang berinovasi”. Tatkala paradigma itu sudah ada, maka pengembangan local brand dapat menjadi sebuah keunggulan bersaing yang besar dalam menyambut MEA 2015.
Sumber: bisnis.news.viva.co.id
Tak hanya itu, local brand juga seyogianya dikemas dalam bentuk yang eksklusif dan bernilai jual tinggi. Jangan sampai penjualan produk hanya dibungkus dengan kertas koran atau kantong keresek hitam karena akan memunculkan kesan brand yang murahan dan tidak bernilai. Coba untuk memikirkan kemasan yang mempunyai nilai estetika tinggi. Anyaman bambu, kotak kayu berukir, atau berbagai media lainnya dapat menjadi kemasan yang baik untuk memberi kesan wah pada produk local brand yang dijual. Tak hanya itu, kemasan produk juga bisa dikoleksi dan menjadi kenang-kenangan tersendiri bagi konsumen.
             
Local brand juga seyogianya mengangkat sesuatu dari kearifan lokal, sehingga tidak mudah dilupakan. Sayang rasanya jika kebanyakan produk lokal di Indonesia selalu berorientasi ke barat dalam penamaan produk, padahal istilah lokal kerapkali justru dicari oleh konsumen asing karena mempunyai nilai budaya yang tinggi. Coba saja kita mempunyai produk bernama Kabayan, Cepot, Pitung, Malin Kundang, atau sesuatu yang berbau lokal dan ada cerita menarik di belakang penamaan brand tersebut, pasar internasional akan menyambut produk tersebut dengan antusias karena ada nilai tambah yang coba ditawarkan oleh produk local brand tersebut.
             
Kita sadar bahwa cinta produk dalam negeri itu penting untuk menjaga keberlangsungan iklim ekonomi lokal yang digerakkan oleh SMESCO. Tapi pengusaha lokal pun jangan lantas diam dan puas dengan kampanye pemerintah semata agar masyarakat lokal membeli produk local brand yang mereka ciptakan. Maka dari itu, evaluasi dua arah antara pengusaha dan konsumen lokal haruslah dilakukan guna menciptakan local brand yang lebih keren. Perlu adanya inovasi dan kreativitas yang masif agar produk Indonesia bisa bersaing di pasar internasional. Tatkala produk lokal mampu menangkap selera pasar tanpa mengurangi kualitas dan bahan baku yang digunakan, pasti konsumen pun tanpa ragu akan membeli produk lokal yang ditawarkan.
             
Selamat berbenah dan menjadikan local brand juaranya!      

~ oOo ~